Secara
garis umum, kalian mengetahui bahwa diantara unsur-unsur budaya,
agama memainkan peranan dominan atas masyarakat baik itu agama asli
maupun agama lainnya. Untuk memudahkan dalam mempelajari dampak
perilaku agama dalam kehidupan bermasyarakat maka dengan ini
dibedakan dalam berbagai lapisan masyarakat.
Ilustrasi - Perilaku Keagamaan
1. Golongan Petani
Sikap
mental golongan petani terbentuk oleh pengaruh situasi dan kondisi di
mana mereka hidup, yaitu faktor klimatologis (iklim) dan hidrologis
(musim panas - musim hujan) maka menurut Weber kaum petani lebih
terlibat dalam proses organik dan peristiwa alam yang tak terhitung
jumlahnya dari siklus yang satu ke siklus berikutnya dalam ritme yang
tidak dipercepat dan tidak diperlambat. Hukum cocok tanam tidak dapat
diperhitungkan secermat seperti pada ekonomi pasar maka kaum petani
cenderung untuk mendayagunakan kekuatan magis guna mempengaruhi
kekuatan kosmos yang irrasional. Itulah sebabnya kaum petani pada
umumnya mempunyai kecenderungan religius lebih besar daripada
kelompok manusia dari lapisan sosial lain.
Semangat
religius ini dapat kalian lihat dalam pengadaan sejumlah upacara
pesta pertanian dari mulai penanaman sampai masa panen merupakan
peristiwa penting yang tidak boleh terlewatkan. Misalnya, kaum petani
di Indonesia mengadakan selamatan pada waktu menanam benih dan pada
waktu panen. Orang Jawa menyebut ini "wiwit" (mulai
pemotongan padi) yang diadakan untuk menghormati Dewi Sri yang
dipercayai sebagai pelindung kesuburan sawah dan ladang. Jalannya
upacara dan jenis yang dikorbankan serta doa yang diucapkan
bervariasi menurut tempatnya.
Pesta
pertanian ini dapat juga ditemui pada bangsa Yahudi zaman bahari yang
tercatat dalam Kitab Suci mereka (Perjanjian Lama). Mereka mengadakan
pesta "massot" atau pesta Roti Tak Terbagi atai Pesta
Paska. Pesta ini dirayakan selama 7 hari dan selama itu mereka makan
roti tak berbagi yang dibuat dari bulir yang baru dipetik sebagai
tanda permulaan baru. Dalam perkembangannya di Indonesia setelah
masuknya agama wahyu, golongan petani ini banyak yang kemudian
menjadi seorang kyai, mubaligh, atau pendeta.
2.
Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil
Golongan
ini hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan
petani. Golongan ini kurang berinteraksi dengan permainan hukum alam.
Hidup mereka lebih didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan
perhitungan rasional. Tuntutan hidup yang mereka hadapi dalam situasi
dan kondisi non agraris ditanggapi dengan cara dan gaya tersendiri
bukan menyandarkan diri pada kedermawanan alam yang datang terlambat
dan tidak menentu melainkan dengan perencanaan yang teliti dan
pengarahan yang pasti. Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama
yang berlaku pada zamannya (agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu,
Budha, Taoisme, dan lain-laian) golongan ini suka menerima pandangan
hidup yang mencakup etika pembalasan.
Mereka
menaati kaidah moral dan sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan
yang baik dilakukan teliti dan tekun akan membawa balas jasa yang
setimpal. Namun akhirnya agama yang mereka pilih adalah agama etis
yang rasional unsur emosi tidak memainkan peranan penting.
3. Golongan Pedagang Besar
Pada
umumnya golongan ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang
imbalan moral. Sepanjang sejarah manusia kelas ini dikuasai oleh
orientasi keduniawian yang menutup kecenderungannya kepada agama yang
profetis dan etis. Semakin besar kemewahan mereka semakin kecil
hasrat mereka terhadap agama yang mengarah kepada dunia lain. Namun
sebagai gantinya mereka tidak keberatan memberikan bantuan uang atau
barang untuk kemajuan agama yang mereka anut meskipun dalam jumlah
kecil. Selanjutnya kegiatan yang diperlukan untuk perkembangan agama
meraka serahkan kepada orang lain.
4. Golongan Karyawan
Yang
dimaksud dengan karyawan adalah pengawai baik dari perusahaan swasta
maupun kaum birokrat. Menurut hasil penelitian dari Weber, yang
mengambil data-data di Cina khususnya agama Konfusianisme bahwa
kecenderungan religius kaum birokrat bersifat mencari untung dan
serba enak sendiri. Adanya ajaran hasil persetujuan yang mengandung
kekosongan mutlak akan perasaan dan kebutuhan akan keselamatan
(salvation) atau landasan transenden untuk kesusilaan (etik).
Walaupun masih dijumpai upacara menghormati arwah nenek moyang dan
banyak dilakukan oleh pejabat tinggi pemerintahan tetapi terasa
adanya jarak tertentu dari roh-roh.
Penelitian
Weber tersebut tidak berlaku di Indonesia dimana, golongan ini tidak
bisa dikatakan berjiwa materialistis karena semangat keagamaan masih
sangat tinggi. Hal itu terlihat dalam pertemuan-pertemuan nonreligius
seperti rapat-rapat dan perayaan nasional dimana salam keagamaan
(khususnya agama Islam) masih diucapkan bahkan doa-doa kepada Tuhan
Yang Maha Esa masih terdengar.
5.
Golongan Elite
Menurut
Weber golongan elit dan hartawan sejajar dengan golongan pegawai
negeri (birokrat) tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa dan
kerendahan hati namun mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak
ada keinginan untuk mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama
dianggap sebagai suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan
situasi mereka di dunia. Secara ekonomi jelas mereka tidak merasa
kekurangan sehingga apa yang menjadi kelangkaan dan ketidakpastian
secara logika dapat terpenuhi. Kedudukan dan kekayaan yang mereka
miliki cukup memberikan jaminan aman.
Dari
beberapa golongan yang ada dalam masyarakat, dampak terbesar sebuah
perilaku agama adalah mengarahkan perhatian umat manusia kepada
masalah maha penting yang selalu menggoda yaitu masalah "arti"
dan "makna". Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan
emosi tetapi juga kepastian kongnitif tentang perkara-perkara yang
tidak dielakkan dari pikirannya kesusilaan, disiplin, penderitaan,
kematian dan nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama
menunjukkan jalan dan arah kemana manusia mendapatkan jawaban.
Jawaban
itu ada dalam kekuatan supraempiris yang tidak dapat dijangkau tenaga
inderawi maupun otak duniawi sehingga tidak dapat dibuktikan secara
rasional melainkan harus diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat
disingkirkan arti dan eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan
ketidakmampuan. Agama menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan
kalau manusia mau menerima nilai-nilai terakhir dan tertinggi.
Dalam
menghadapi 'kelangkaan' dalam arti kesejahteraan ekonomi, Weber
melihat agama memberikan saham yang tidak kecil serta amat positif.
Sebagai contohnya, bahwa Protestanisme memberikan pengaruh kausal
yang kuat kepada lahir dan berkembangnya kapitalisme modern. Hal ini
menunjukkan peran positif agama dalam kehidupan masyarakat. Munculnya
etos kerja yang cukup tinggi bagi penganut Protestan karena adanya
anggapan bahwa kekayaan merupakan satu-satunya yang mampu mendorong
orang masuk surga.
Lain
lagi dengan pandangan bahwa adanya agama yang memberikan larangan
bagi agama tertentu untuk makan sejumlah jenis ciptaan seperti babi
atau anjing untuk Islam sapi untuk Hindu, misalnya akan berbeda
dengan penyembelihan puluhan ternak (kerbau dan babi di Sulawesi dan
Batak tidak dapat menghilangkan kesan bahwa agama tidak memberikan
keuntungan ekonomi tetapi sebaliknya bagi pemeluknya. Misalnya,
penutupan peternakan babi atau sapi tidak berarti bahwa agama
menghambat kesejahteraan manusia. Apa yang menurut ukuran materialis
merupakan suatu kerugian bagi manusia religius bukan sebagai kerugian
tetapi keuntungan.
Dalam
antropologis tidak memberikan sebuah pemikiran tentang moralitas
tingkah laku pemeluk agama tetapi memberikan penilaian yang diberikan
pemeluk yang bersangkutan dan motivasi yang melatarbelangkangi
tindakan itu.
Para
ahli kebudayaan yang telah mengadakan pengamatan mengenai aneka
kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan bahwa agama
merupakan unsur inti yang paling mendasar dari kebudayaan manusia
baik ditinjau dari segi positif atau negatif. Masyarakat adalah suatu
fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus menerus yang dapat
dibagi dua kategori kekuatan batin (rohani) and kekuatan lahir
(jasmaniah). Contoh kekuatan lahir ialah perkembangan teknologi baru
yang terlihat dalam revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat
yang kemudian diekspor kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang
mendatangkan kemajuan yang tidak kecil bagi kebudayaan materiil. Di
lain pihak perubahan masarakat juga digerakkan oleh kekuatan batin
seperti paham agama. Nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan
pengubah yang terkuat dalam semua kebudayaan. Dalam hal ini agama
menjadi inisiator dan promotor tetapi juga sebagai penentang gigih
sesuai dengan letak kedudukan agama.
Agama
merupakan unsur inti dari kebudayaan manusia maka dapat dibenarkan
sampai tingkat tertentu pendapat umum yang menyatakan bahwa
kebudaayan Asia adalah pengaruh dari agama Hindu dan Budha. Namun
untuk kebudayaan Indonesia yang mengenal agama-agama besar yang
berturut-turut masuk dari luar ke dalam Nusantara. Pertama agama
Hindu/Budha, Agama Islam, lalu disusul agama Kristen. Berdasar pada
dalil bahwa agama merupakan unsur inti kebudayaan dapat disimpulan
bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama
tersebut.
0 Response to "Dampak Perilaku Keagamaan Bagi Kehidupan Bermasyarakat"